I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hutan rakyat sebagai salah satu aset yang penting bagi sumber pendapatan Negara, dipandang cukup strategis dalam menunjang roda pembangunan. Sehingga diperlukan langkah-langkah strategis dalam pengelolaannya secara lestari. Salah satu upaya bentuk pengelolaannya adalah hutan rakyat yang dapat memberikan banyak manfaat bagi pemiliknya diantaranya sebagai penghasil kayu pertukangan, bahan baku industri dan sebagai penghasil kayu bakar.
Pengelolaan hutan rakyat merupakan bentuk pemanfaatan dan pengembangan sumberdaya alam oleh manusia. Pembangunan hutan rakyat merupakan suatu alternatif yang dipilih untuk mengatasi masalah sosial ekonomi dan lingkungan hidup. Pengusahaan hutan rakyat adalah salah satu upaya untuk meningkatkan daya dukung lahan bagi penduduk dan ikut menyumbang pengelolaan daerah aliran sungai. Pengelolaan hutan rakyat sebagai usaha untuk memanfaatkan sumberdaya alam dan telah dilaksanakan sejak dahulu pada tanah milik yang pada awalnya lahan tersebut dijadikan tempat untuk tinggal menetap dan pada akhirnya muncul suatu keinginan untuk menanam dan memelihara tanaman sampai memanfaatkan hasilnya.
Hasil penelitian pendahuluan, diketahui tanaman perkayuan yang dikembangkan pada hutan rakyat di lokasi penelitian, seperti : Sengon (Paraserianthes falcataria), kayu putih (Melaleuca leucadendron), aren (Arenga pinata), Akasia (Acacia sp.), Jati putih (Gmelina arborea), Kemiri (Aleurites moluccana), kapuk randu (Ceiba petandra), Mahoni (Swietenia macrophylla), dan bambu (Bambusa).
Mallawa adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Maros dengan jumlah penduduk 11.730 jiwa dan luas keseluruhan dari Kecamatan Mallawa adalah 23.591,82 ha. Dimana sebagian besar wilayahnya merupakan lahan pertanian, ladang, perkebunan dan kawasan hutan rakyat. Hanya sebagian kecil saja yang digunakan sebagai lokasi perkantoran dan permukimnan. Masyarakat di Kecamatan Mallawa banyak melakukan aktivitas di dalam kawasan hutan. Aktivitas utama mereka di dalam kawasan hutan adalah bertani dan memanen hasil hutan khususnya kayu. Luas hutan rakyat di Kecamatan Mallawa adalah 11.856 ha dan penduduk yang bekerja sebagai petani berjumlah 3.224 jiwa.
Pengusahaan hutan alam di luar pulau jawa, pembukaan wilayah hutannya (terutama jaringan jalan) hanya bertujuan untuk mencari dan mengeluarkan kayu, setelah eksploitasi selesai jalan hutan ditinggalkan terbengkalai sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan, terutama erosi dan pencemaran air sungai. Pengembangan prasarana wilayah untuk pengusahaan potensi hasil hutan kayu dan non kayu belum banyak dilakukan.
Sehingga banyak sumberdaya hutan yang mengalami kesulitan dalam pengusahaanya, karena ketidak tersediaan prasarana wilayah, terutama prasarana jalan angkutan hasil hutan kayu dan non kayu.
Pengelolaan hutan rakyat sampai sekarang ini, masih menggunakan tenaga manusia (manual) sehingga efektivitasnya rendah dan sulit melakukan pengelolaan skala besar. Pengelolaan hutan rakyat belum tersentuh perkembangan teknologi di bidang keteknikan hutan (forest engineering) padahal bidang tersebut telah berkembang pesat di negara-negara maju sedikitnya selama tiga dekade terakhir. Upaya untuk meningkatkan mutu pengelolaan dan efisensi pemanfaatan hasil hutan rakyat sangat membutuhkan penggunaan alat-alat yang sesuai dengan kondisi obyektif hutan rakyat tersebut dan prasarana jalan yang tersedia untuk mengeluarkan hasil hutan kayu dari dalam hutan (Simon, 1995).
Informasi mengenai hambatan dan ketersediaan sistem prasarana wilayah yang digunakan penduduk dalam pemanenan hutan rakyat belum banyak diketahui, khususnya di Dusun Batumadenreng, Desa Batu Putih, Kecamatan Mallawa, oleh karena itu penelitian dilakukan untuk mengidentifikasi peranan prasarana wilayah (khususnya jalan hutan) terhadap sistem pemanenan hutan di Dusun Batumadenreng, Desa Batu Putih, Kecamatan Mallawa , Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi selatan.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian bertujuan mengidentifikasi peranan prasarana wilayah terhadap sistem pemanenan hutan rakyat di Dusun Batumadenreng Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi selatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai bahan informasi untuk perencanaan sistem prasarana wilayah pemanenan hutan rakyat pada Dusun Batu Maddenreng, Desa Batu putih, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hutan Rakyat
Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah milik dengan luas minimal 0.25 ha. Penutupan tajuk didominasi oleh tanaman perkayuan, dan atau tanaman tahun pertama minimal 500 batang (Dephutbun, 1999).
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia no.41 Tahun 1999 tentang kehutanan menyatakan bahwa hutan berdasarkan statusnya diklarifikasikan kedalam hutan Negara dan hutan hak. Hutan Negara dapat berupa hutan adat yaitu hutan hutan Negara yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat. Hutan adat dan hutan Negara yang dikelola oleh desa dan di manfaatkan untuk kesejahteraan desa disebut hutan desa, serta hutan Negara yang manfaat utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakatnya disebut hutan kemasyarakatan, sedangkan hutan yang tumbuh atau dibangun oleh rakyat diatas tanah milik dengan jenis-jenis tanaman hutan disebut hutan rakyat (departemen kehutanan,1999).
Penanaman pepohonan di tanah milik masyarakat oleh pemiliknya, merupakan salah satu butir kearifan masyarakat dalam rangka memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Dengan semakin terbatasnya kepemilikan tanah, peran hutan rakyat bagi kesejahteraan masyarakat semakin penting. Pengetahuan tentang kondisi tanah dan faktor-faktor lingkungannya untuk dipadukan dengan pengetahuan jenis-jenis pohon yang akan ditanam untuk mendapatkan hasil yang diharapkan oleh pemilik lahan, merupakan faktor yang menentukan keberhasilan pembangunan hutan rakyat (Dephutbun, 1999).
Menurut Simon (1995), Hutan rakyat memiki manfaat diantranya sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan pendapatan petani sekaligus untuk kesejahteraan hidupnya.
2. Manfaatnya secara maksimal dan lestari, lahan yang tidak produktif dan mengolanya agar menjadi lahan yang subur
3. Meningkatkan produksi kayu bakar dalam mengatasi kekurangan bahan bakar, penyediaan kebutuhan kayu perkakas, bahan bangunan dan alat rumah tangga.
4. Untuk penyediaan bahan baku industri pengolahan yang memerlukan bahan kayu, seperti pabrik kertas, pabrik korek api, dan lain-lain.
5. Menambah lapangan kerja bagi penduduk di pedesaan.
6. Membantu mempercepat usaha rehabilitasi lahan kritis dalam mewujudkan terbinanya lingkungan hidup sehat dan kelestarian sumber daya alam.
B. Pola Pengusahaan Hutan Rakyat
Pengusahaan hutan adalah kegiatan pemanfaatan hutan yang didasarkan atas azas kelestarian fungsi dan azas perusahaan yang meliputi penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan hasil dan pemasaran hasil hutan. Tujuan pengusahaan hutan dan pemanfaatan hasil hutan adalah mewujudkan keberadaan sumberdaya hutan yang berkualitas tinggi, memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan ekologi yang maksimal dan lestari serta menjamin distribusi manfaatnya secara adil dan merata khususnya terhadap masyarakat yang tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan (Tempo, 2004).
Menurut Supardi (2002), Dalam rangka pengembangan hutan rakyat, dikenal tiga pola hutan rakyat, yaitu :
1. Pola Swadaya : hutan rakyat yang dibangun oleh kelompok atau pereorangan dengan kemampuan modal dan tenaga dari kelompok atau perorangan itu sendiri. Melalui pola ini masyarakat didorong agar mau dan mampu untuk melaksanakan pembuatan hutan rakyat secara swadaya dengan bimbingan teknis kehutanan.
2. Pola subsidi : (model hutan rakyat); hutan rakyat yang dibangun melalui subsidi atau bantuan sebagian atau keseluruhan biaya pembangunannya. Subsidi atau bantuan diberikan oleh pemerintah (melalui Inpres Penghijauan, Padat Karya dan dana bantuan lainnya) atau dari pihak lain yang peduli terhadap pembangunan hutan rakyat.
3. Pola kemitraan (Kredit Usaha Hutan Rakyat) : hutan rakyat dibangun atas kerjasama masyarakat dan perusahaan swasta dengan insentif permodalan berupa kredit kepada rakyat dengan bunga ringan. Dasar pertimbangan kerjasama itu adalah pihak perusahaan perlu bahan baku dan masyarakat butuh bantuan modal kerja. Pola kemitraan ini dilakukan dengan memberikan bantuan secara penuh melalui perencanaan sampai dengan membagi hasil usaha secara bijaksana, sesuai kesepakatan antara perusahaan dan masyarakat.
C. Pemanenan
Pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan kehutanan yang mengubah pohon dan biomass lainnya menjadi bentuk yang dapat dipindahkan ke lokasi lain sehingga bermanfaat bagi kehidupan ekonomi dan kebudayaan masyarakat
(Suparto, 1999).
Pemanenan kayu adalah pemanfaatan yang rasional dan penyiapan suatu bahan baku dari alam menjadi sesuatu yang siap dipasarkan untuk bermacam-macam kebutuhan manusia (Grammel, 1998).
Pemanenan kayu merupakan serangkaian kegiatan yang bertujuan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan kayu (Conway, 1978).
Menurut Wiradinata (1989), bahwa proses pemanenan kayu terdiri dari beberapa kegiatan yang masing-masing merupakan satu tahap dalam proses produksi. Adapun unsur-unsur dasarnya adalah :
1. Operasi tunggak (stump operation), yaitu penebangan pohon dan pembentukan permulaan dari log.
2. Penyaradan, yaitu memindahkan batang kayu secara keseluruhan atau berupa log dari tempat penebangan ke tempat pengumpulan (loading). Pada umumnya jarak yang ditempuh hanya beberapa ratus meter.
3. Pemuatan (loading), yaitu menaikkan kayu ke atas alat angkut. Kegiatan memuat dilakukan di landing.
4. Angkutan utama, yaitu pengangkutan dari landing ke tempat tujuan.
5. Pembongkaran, yaitu membongkar muatan di tempat tujuan.
D. Penebangan
Penebangan adalah langkah awal dalam operasi pemanenan kayu di hutan yang bertujuan merebahkan pohon yang dipanen dengan aman dan efesien. Kegiatan ini dilakukan oleh seorang penebang (operator chain saw) yang dibantu seorang helper. Alat dan perlengkapan yang dibawa dalam kegiatan penebangan terdiri dari sebuah chain saw, sebuah parang atau mandau, peralatan pemeliharaan chain saw terutama kikir, suku cadang chain saw terutama gergaji rantai yang sudah di tajamkan, bahan bakar dan pelumas (Elias,1998).
Penebangan adalah semua kegiatan di petak tebangan yang meliputi pekerjaan-pekerjaan menebang, membersihkan cabang dan pembagian batang menjadi sortimen kayu perkakas dan kayu bakar tanpa mengikutsertakan bagian-bagian yang ada dalam tanah (Soenarso,1974).
Kegiatan penebangan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tipe penebangan, iklim, ukuran pohon, kerapatan tegangan, kegiatan setelah penebangan, topografi, kondisi lapangan, semakbelukar, pengalaman operator dan sisitem pengupahan (Darusalam,1995).
Soenarso (1974) dalam Yusmaladewi (1995),mengemukakan bahwa dalam penebangan pohon digunakan dua macam alat, yaitu alat penebangan konvensional yang merupakan alat non mekanis, seperti gergaji potong, beliung, kapak dan alat penebangan mekanis seperti gergaji rantai atau biasa disebut chain saw. dikatakan pula bahwa penebangan mekanis merupakan gergaji yang di gerakan oleh motor dengan mengunakan bahan bakar bensin.
E. Pembagian Batang
Pembagian batang (bucking) adalah pekerjaan yang terdiri atas kegiatan memotong pohon yang telah rebah ke tanah (selesai ditebang) ke dalam potongan-potongan atau lazimnya disebut log, sehingga siap untuk disarad (diangkut dalam jarak dekat). Sebagian besar alat yang dipakai dalam pembagian batang sama dengan yang dipakai dalam penebangan. Pembagian batang dapat dilaksanakan di beberapa tempat pengumpulan sementara (landing) dan bisa juga di tempat penyortiran kayu (log yard). Dimana pembagian batang itu dilaksanakan bergantung kepada sistem pemanenan kayu yang dilaksanakan (Haryanto, 1996).
Menurut Departemen Kehutanan (1996), faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan pembagian batang adalah :
a. Keadaan pohon/batang
b. Sortimen yang diminta/dipesan oleh konsumen
c. Kapasitas alat sarad/alat angkut
Adapun tahap-tahap dalam pembagian batang (bucking) :
a. Pembersihan cabang (limbing) dan pangkal
b. Pemotongan ujung (topping)
c. Pembagian batang (bucking)
F. Sortimen
Menurut Departemen kehutanan (1991), berdasarkan kombinasi ukuran, kayu gergajain rimba Indonesia dapat di bagi dalam empat macam sortimen induk dengan panjang sekurang-kurangnya 1,8 meter, yaitu:
1.Papan lebar (board) adalah kayu gergajian yang mempunyai ukuran lebar 15 cm atau lebih dan tebalnya tidak melebihi 5 cm
2.Papan tebal (planks) adalah kayu gergajian yang mempunyai ukuran lebar 15 cm atau lebih dan tebalnya lebih besar dari 5 cm, dengan catatan tebal tidak melebihi setengah lebarnya.
3.Papan lis (strips) adalah kayu gergajian yang mempunyai ukuran lebar kurang dari 15 cm dan tebal kurang dari setengah lebarnya.
4.Broti (scantlings) adalah kayu gergajian yang mempunyai ukuran tebal sama atau melebihi dari setengah dari lebarnya.
Menurut Departemen kehutanan (1987). Kadang-kadang dijumpai juga bentuk-bentuk kayu, yang bukan lagi merupakan kayu bulat tetapi tidak juga merupakan sortimen kayu gergajian. Bentuk-bentuk kayu tersebut dalam pengertian selanjutnya diberinama sortimen lokal,yaitu:
1. Batang belahan adalah kayu bulat yang telah dibelah menjadi 2 atau 4, sehingga penampang lintang (bontos) berbentuk mirip setengah lingkaran atau seperempat lingkaran.
2. Black-ware adalah kayu bulat yang telah di gergaji menjadi papan tetapi tidak sampai di ujung, kemudian diikat kembali sesuai dengan bentuk aslinya. Apabila digergajinya sampai ujung, kemudian diikat kembali di beri istilah Losche-ware.
3. Log Squares adalah kayu bulat yang sudah di gergaji membujur pada keempat sisinya, baik masih ada pinggulnya atau tidak.
4. Simpiran (sebetan) adalah potongan-potongan kayu yang merupakan sisa-sisa dari proses penggergajian baik sisa potongan melintang (edging) atau potongan membujur (trimming) yang tidak termasuk dalam salah satu spesifikasi kayu gergajian dan bukan merupakan pesanan.
G. Penyaradan
Suhartana dan Dulsalam (1994) menyatakan bahwa penyaradan kayu merupakan salah satu elemen kegiatan dari serangkaian kegiatan pemanenan kayu. Dalam pelaksanaannya, betapapun kegiatan tersebut dilaksanakan secara hati-hati, namun kerusakan terhadap vegetasi dan tanah yang timbul karenanya tidak mungkin dihindari. Penyaradan kayu di luar Jawa umumnya menggunakan alat penyarad traktor.
Menurut Sastrodimedjo (1979), Penyaradan dapat dibedakan berdasarkan tenaga yang dipergunakan, yaitu :
- Penyaradan dengan tenaga manusia tanpa peralatan yang termasuk dalam sistem ini adalah :
- Menggulung
- Kuda-kuda
- Pemikulan
- Penyaradan dengan menggunakan tenaga manusia yang dibantu dengan peralatan dan mekanis seperti lori dan penyaradan dengan gaya berat.
- Penyaradan dengan menggunakan tenaga hewan. Hewan yang banyak dipergunakan dalam pekerjaan ini adalah kuda, sapi, keledai, kerbau dan gajah.
- Penyaradan secara mekanis. Penyaradan dengan sistem ini kebanyakan menggunakan traktor dan sistem kabel.
Selanjutnya berdasarkan ukuran kayu yang disarad terdiri dari tiga system penyaradan yaitu :
- Shorwood system, yaitu pembuatan sortimen dilakukan di dalam hutan sehingga kayu yang disarad adalah kayu dalam bentuk sortimen jadi.
- Treelenght system, yaitu kayu yang disarad adalah seluruh batang bebas cabang.
- Fulltree system, yaitu menyarad semua bagian pohon yang telah ditebang termasuk batang bebas cabang dan tajuk ke tepi jalan angkutan.
Menurut Juta (1954), Mengemukakan bahwa penyaradan dengan tenaga manusia tanpa peralatan yang termasuk dalam sistem ini adalah :
a. Mengguling (log rolling)
Sistem ini merupakan salah satu sistem tua, sederhana, dan murah dengan jalan menggelinding-gelindingkan batang.
b. Kuda-kuda
Sistem ini biasanya digunakan di luar pulau Jawa pada ada waktu sebelum ada mekanisasi kehutanan dengan cara menarik atau mendorong batang di atas deretan kayu-kayu yang diletakkan melintang arah penyaradan.
c. Pemikulan
Sistem ini biasanya dilakukan apabila kedua sistem diatas tidak memugkinkan untuk dilakukan disebabkan oleh keadaan topografi.
H. Pengangkutan
Pengangkutan di dalam kegiatan pemanenan adalah pengangkutan balak (log) dari tempat penebangan sampai ke tempat tujuan akhir seperti tempat penimbunan kayu (TPK) atau langsung ke konsumen. Tujuan pengangkutan kayu adalah agar kayu dapat sampai di tujuan pada waktu yang tepat secara kontinyu dengan biaya yang minimal. Kayu akan turun kualitasnya apabila terlalu lama diabiarkan di dalam hutan (Elias, 1998).
Pengangkutan adalah kegiatan sesudah penyaradan yang dimulai dari saat kayu dimuat ke atas truk di tempat pengumpulan sampai dibongkar ditempat penimbunan log pond atau di tempat penggergajian (Johannis, 1983).
Menurut Juta (1954), Membagi 3 cara pengangkutan kayu sebagai berikut :
- Membawa kayu dari tunggak ke tempat pengumpulan di pinggir jalan rel, jalan mobil atau sungai.
- Pengangkutan kayu dari tempat pengumpulan ke tempat penimbunan besar atau langsung kepada pemakai, misalnya perusahaan-perusahaan penggergajian.
- Pengangkutan antara, yakni pengangkutan kayu dari tempat pengumpulan pertama ketempat dimana pengangkutan sebenarnya dimulai.
Menurut La’lang (1978), Cara atau sistem pengangkutan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai berikut :
- Letak dan topografi lapangan
- Luas daerah yang akan dieksploitasi
- Geologi keadaan tanah dan iklim
- Jumlah dan ukuran kayu
- Keadaan jalan
- Jarak angkutan
- Biaya pengangkutan
I . Hubungan Pemanenan Kayu dan Penataan Hutan
Menurut Maryudi (2002), hubungan pemanenan kayu dan penataan hutan adalah sebagai berikut :
1. Berdasarkan rencana jaringan jalan dan batas- batas alam yang ada dapat disusun pembagian hutan dan blok hutan.
2. Tiap blok hutan dipisahkan secara jelas dalam penataan hutan.
3. Blok hutan dibagi menjadi petak-petak yang akan menjadi unit kesatuan managemen dan administrasi terkecil
4. Disamping jalan cabang yang akan berfungsi menjadi batas blok hutan jalan cabang juga dapat dibuat setelah memperhitungkan kebutuhannya (teknis dan ekonomis) dalam pembukaan wilayah dalam blok hutan tersebut.
5. Pengangkutan kayu, material dan karyawan serta tindakan-tindakan silvikultur membutuhkan jalan-jalan ranting yang membuka petak-petak.
6. Pola jaringan jalan yang direncanakan harus sesuai dengan sisten-sistem pemanenan kayu yang akan dipergunakan.
7. Pal batas hutan dapat difungsikan juga sebagai pal hm jalan atau sebaliknya.
8. Batas antar petak dalam tiap blok dapat berupa jalan cabang yang sebagian yang dibuat atas pertimbangan teknis dan ekonomis kegiatan pembinaan hutan.
Kerapatan jalan optimal adalah panjang yang ada disuatu wilayah yang dinyatakan dalam satuan meter per hektar (Haryanto, 1998).
Meningkatnya kerapatan jalan akan menaikkan beban biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan, tetapi akan menurunkan biaya kegiatan kehutanan lainnya dan meningkatkan produksi hutan/pertumbuhan riap (Yusmaladewi,1995).
Dari segi ekonomis, kerapatan jalan akan optimal apabila biaya penyaradan sama besarnya dengan biaya pembuatan dan pemeliharaan jalan (Zain, 1998).
Menurut Supardi (2002), Besarnya kerapatan jalan optimal untuk setiap wilayah tidak selalu sama, hal ini etrgantung dari parameter sebagai berikut :
1. Keadaan topografi, jenis tanah dan mikrotopografi
2. Jenis alat yang dipakai untuk menyarad dan mengangkut kayu
3. Potensi tegakan
4. Biaya pembuatan jalan
5. Biaya pemeliharaan jalan
Menurut Zain (1998), Berdasarkan fungsinya kelas hutan dibadakan atas :
1. Jalan utama
Jalan yang melayani kebutuhan kegiatan pengusahaan hutan secara umum menghubungkan wilayah hutan dengan jalan koridor atau jalan umum serta berfungsi menampung arus angkutan dari jalan cabang. Jalan utama biasanya diperkeras dan berkualitas tinggi serta dipelihara rutin
2. Jalan cabang dan ranting
Jalan yang melayani kegiatan pada angkutan terbatas, yakni menghubungkan daerah/tegakan hutan dari blok dan petak dengan jalan utama. Jalan cabang kadang diperkeras, kadang tidak diperkeras, jalan dipelihara secara periodik.
3. Jalan sarad
Jalan yang melayani keperluan menyarad kayu dari tempat tunggak di jalan angkutan atau landing. Jalan ini menghubungkan tempat tumbuh pohon individu dengan jalan angkutan atau landing, jalan berkualitas rendah.
Menurut Maryudi (2002), Spesifikasi kelas kualitas jalan hutan sebagai berikut :
1. Jumlah jalur lalu lintas
2. Lebar badan jalan
3. Lebar permukaan jalan yang diperkeras
4. Radius belokan
5. Lereng memanjang jalan
6. Beban/kapasitas jalan
7. Kecepatan kendaraan yang diizinkan bagi kendaraan bermuatan
8. Dapat dipakai sepanjang tahun atau hanya pada musim kemarau
J. Prasarana Wilayah
Prasarana wilayah adalah sistem prasarana yang tersedia dan mempunyai fungsi utama untuk melayani mobilitas penduduk dan jasa ataupun barang/komoditas hutan dari suatu tempat ketempat lain serta dapat menjembatani keterkaitan fungsional antar kegiatan sosial ekonomi desa dengan wilayah sekitarnya. Prasarana tersebut utamanya terdiri dari fasilitas-fasilitas pasar, aksebilitas, distribusi, kesehatan dan pendidikan (Jayadinata, 1992).
Terbentuknya pusat-pusat pelayanan desa merupakan stimuli yang kuat untuk mengadakan perubahan, yaitu penyediaan fasilitas pasar atau titik koreksi pada pusat-pusat desa tersebut. Masalah aksesibilitas atau kemudahan angkutan adalah sama pentingnya dengan fasilitas-fasilitas lainnya. Penting pula diketahui pengaruh lapangan dari pusat-pusat tersebut pada produksi hasil hutan kayu itu sendiri. Misalnya dalam hal difusi ide baru, dapat diperkirakan dampaknya akan menurun dengan meningkatnya jarak dari pusat-pusat tersebut. Sarana transportasi dan komunikasi menentukan keadaan seluruh interaksi. Pertukaran barang dapat terjadi karena adanya komunikasi antara manusia. Dalam hal ini, penekanannya diletakkan pada transportasi (Adisasmita Rahardjo, 2001).
Angkutan jalan desa merupakan sarana dan cara yang paling banyak digunakan untuk pemindahan manusia dan barang. Keadaan jalan desa bermacam-macam, Ada yang terdiri dari aspal, batu, tanah keras, dan ada yang berupa jalan setapak. Menurut fungsinya, pada umumnya jalan di desa merupakan jalan lokal. Selama musim hujan tidak jarang terjadi bahwa beberapa jalan tersebut tidak dapat dilalui. Sarana angkutan yang dominan ke pusat-pusat desa sudah banyak digunakan sepeda motor. Untuk pusat-pusat yang lebih tinggi orderannya, sebagian besar penduduk telah menggunakan jasa angkutan roda empat (pick up dan truk). Persoalan yang paling kontroversial yaitu mengenai perbaikan jalan-jalan yang menghubungkan antar pusat desa. Banyak studi yang menekankan perhatian pada kelayakan pembangunan jalan trunk (urat nadi) dan kurang memberikan perhatian pada jalan feeder. Pembangunan jalan di daerah pedesaan memberikan pengaruh biaya transportasi menjadi lebih rendah dan memudahkan pengiriman barang-barang atau hasil produksi hutan kayu sampai pada pasar ataupun industri pengelolaan. Suatu perubahan dalam jaringan jalan raya tidak selamanya memberikan manfaat kepada pusat-pusat desa, misalnya suatu pembangunan jalan raya baru yang tidak melalui pusat perdagangan kecil. Aksesibilitas yang lebih besar ke pusat-pusat yang lebih besar memungkinkan perdagangan di daerah tersebut menampung perdagangan dalam jumlah yng besar pada satu pihak dan di pihak lain, pihak status dan peranan pusat-pusat desa jelas akan menurun (Adisasmita Rahardjo, 2001).
Menurut Mosher (1985), fasilitas pengankutan lokal jarak jauh bersama-sama harus membentuk sistem prasarana yang merupaknan satu kesatuan yang harmonis. Tidak semua jalan raya perlu diaspal. Jalan setapak, jalan tanah, saluran air jalan raya dan sungai, semuanya dapat memperlancar pengangkutan. Semua prasarana tersebut harus dihubungkan dan diintegrasikan yang satu dengan yang lain, sehingga hasil bumi dapat diangkut dengan lancar dari lokasi usahatani ke pusat-pusat pasar. Demikian pula sarana dan alat produksi serta berbagai jasa tidak hanya perlu sampai ke kota kecil dan desa melainkan perlu sampai ke usaha tani itu sendiri.
Menurut Jayadinata (1992), dalam menyediakan prasarana tertentu diperlukan biaya, meliputi :
1. Pembiayaan untuk prasaran
Prasarana yang diperlukan di wilayah tertentu harus dibuat dan jika telah selesai dan berfungsi harus terus menerus dipelihara. Yang menanggung pembiayaan untuk pembuatan dan pemeliharaan prasarana dapat perseorangan/keluarga, kelompok masyarakat, badan hukum, dan pemerintah.
2. Pembuatan dan pemeliharaan prasarana
Yang bertugas membuat dan memelihara prasarana dapat perorangan, masyarakat setempat, badan hukum dan pemerintah.
3. Cara pembuatan prasarana
Para pembuat dapat membuat prasarana yang bermacam-macam dengan berbagai cara, tergantung pada keperluannya, kemampuan tenaga dan biaya. Cara pembuatan prasarana itu dapat menurut teknologi sederhana dan teknologi tinggi.
K. Peran Prasarana Wilayah Terhadap Pemanenan Hutan
Di dalam perencanaan dan pelaksanaan pembukaan wilayah hutan harus memperhatikan tujuan dan pemanfaatan pembangunan sarana dan prasarana pembukaan wilayah hutan. Misalnya dalam pembangunan jalan hutan untuk keperluan reboisasi hutan yang rusak, tujuan pembukaan wilayah hutan adalah untuk penanaman dan pemeliharaan hutan serta pengangkutan pekerjaan bahan-bahan keluar masuk hutan terutama penyaradan dan pengangkutan hasil hutan (Elias, 1994).
Menurut Elias (1994), Pembukaan wilayah hutan mempunyai dua peranan yaitu :
1. PWH merupakan persyaratan utama bagi kelancaran perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan dalam pengelolaan hutan lestari.
2. PWH merupakan prasyarat bagi pengelolaan hutan produksi lestari
Menurut Elias (1994), Multi-fungsi pembukaan wilayah hutan adalah sebagai berikut :
1. Mempermudah penataan areal hutan.
2. Mempermudah pengangkutan pekerja, peralatan, barang, dan bahan keluar masuk hutan.
3. Mempermudah kegiatan, penanaman, pemeliharaan dan penjarangan hutan.
4. Mempermudah kegiatan pemanenan kayu (penebangan, penyaradan, muatbongkar, pengumpulan, pengangkutan, dan penimbunan kayu).
5. Mempermudah pengawasan dalam pengelolaan hutan
6. Mempermudah perlindungan hutan terhadap kebakaran, serangan hama dan penyakit
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama 3 bulan yaitu bulan September sampai November tahun 2009 pada hutan rakyat di dusun Batu Maddenreng, Desa Batu putih, Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros.
B. Alat dan Bahan
- Kamera untuk mendokumentasikan objek penting yang terkait dengan penelitian
- Alat tulis menulis untuk mencatat data-data yang diperoleh dilapangan
- Kompas.
- Meteran Roll.
- GPS
C. Teknik Pengumpulan Data dan Jenis Data
Teknik pengumpulan data dan jenis data yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui pengamatan langsung dan wawancara terstruktur. Pengamatan langsung di lapangan dengan tujuan untuk memperoleh informasi tentang : teknik penebangan, teknik pembagian batang, teknik pembuatan sortimen, teknik penyaradan dan teknik pengangkutan, dan prasarana wilayah yang tersedia dan yang dimanfaatkan petani dalam pemaenan hutan . Wawancara terstruktur dilakukan menggunakan daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan
2. Jenis Data
a. Data Primer
Pengumpulan data primer diperoleh dengan teknik wawancara dan observasi lapangan, yaitu pengamatan langsung terhadap kegiatan pemanenan kayu dan mendokumentasikan tahapan-tahapan kegiatan seperti penebangan, pembagian batang, pembuatan sortimen, penyaradan dan pengangkutan. Data primer yang dkumpulkan, meliputi : spesifikasi prasarana jalan yang tersedia dan yang dimanfaatkan petani dalam pemanenan hutan,. Prasarana pasar yang tersedia dan yang dimanfaatkan petani dalam pemasaran hasil hutan, prasarana peralatan yang tersedia dan yang digunakan petani dalam pengangkutan hasil pemanenan hutan , prasarana peralatan pengolahan hasil hutan yang tersedia dan yang dimanfaatkan petani dalam pengolahan hasil hutan.
b. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui telaah dokumentasi berbagai sumber, seperti laporan hasil penelitian, laporan dari instansi-instansi terkait atau yang terkait dengan tujuan penelitian.
D. Analisis Data
Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara deskriptif dengan kerangka analisis yang didasarkan pada data primer dan data sekunder. Untuk memudahkan hasil analisis kemudian ditabulasikan sesuai dengan hasil penelitian. Gambaran kerangka analisis deskriptif pada penelitian ini digambarkan pada Gambar 1.
POTENSI HUTAN RAKYAT DI DUSUN BATU MADDENRENG
|
IDENTIFIKASI PRASARANA WILAYAH
|
SISTEM PEMANENAN HUTAN
– Tebang
– Sarad
– Angkut
– Bagi batang
|
ANALISIS DESKRIPTIF dan DATA ATRIBUT
|
PERAN PRASARANA WILAYAH TERHADAP SISTEM PEMANENAN HUTAN RAKYAT DI DUSUN BATU MADDENRENG, DESA BATU PUTIH.
|
Gambar 1. Kerangka Analisis Penelitian.
E. Defenisi Operasional
- Hutan rakyat adalah hutan yang tumbuh di atas tanah yang dibebani hak milik maupun hak lainnya dengan ketentuan luas minimum 0,25 ha, penutupan tajuk tanaman kayu-kayuan dan tanaman lainnya lebih dari 50 %.
- Pola pengembangan hutan rakyat adalah suatu cara pengembangan kegiatan hutan rakyat yang dianggap sesuai dengan kondisi dan situasi sosial budaya daerah setempat.
- Sistem Pemanenan hutan rakyat adalah rangkaian kegiatan pemanenan yang meliputi penebangan, pembagian batang, pembuatan sortimen, penyaradan, dan pengangkutan hasil hutan kayu.
- Pemilik hutan rakyat adalah perorangan, kelompok atau usaha/ badan hukum yang mempunyai hak pemilikan/pengelolaan atas lahan yang ditumbuhi hutan atau mempunyai potensi hutan.
- Pengusaha pemanenan kayu adalah perorangan atau sekelompok orang yang bergerak dalam bidang pemanenan khususnya pemanenan kayu yang kemudian menjual hasil panenan ke pihak yang membutuhkan.
- Prasarana wilayah adalah sistem prasarana yang tersedia dan mempunyai fungsi utama untuk melayani mobilitas penduduk dan jasa ataupun barang/komoditas hutan dari suatu tempat ketempat lain serta data menjembatani keterkaitan fungsional antar kegiatan sosial ekonomi desa dengan wilayah sekitarnya. Sebagai contoh : sistem prasarana transportasi, sistem prasarana pemasaran, sistem prasarana peralatan pemanenan, dsb.
- Sarana adalah sesuatu yang dipakai sebagai alat untuk mempermudah suatu pekerjaan.
- Prasarana (infrastruktur) adalah alat yang paling utama, dalam kegiatan sosial ekonomi.
- Peranan Prasarana wilayah dalam pemanenan hutan, antara lain (a) Menunjang peningkatan nilai sumberdaya hutan (b) Memperlancar dan memudahkan pemindahan hasil hutan dari tempat pemanenan ke tempat pengolahan hasil, lokasi pasar dan atau ke konsumen, (c) Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan, dan (d) Mewujudkan keseimbangan antara kepentingan kesejahteraaan dan keamanan.
IV. KEADAAN UMUM LOKASI
A. Keadaan Umum Lokasi
1. Letak dan Luas
Desa Batu Putih secara administrasi pemerintah berada dalam wilayah Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros. Desa Batu Putih dengan jarak ± 100 km dari ibukota Provinsi Sulawesi Selatan ± 70 km dari pusat ibukota Kabupaten Maros dan ± 8 km dari Kecamatan Mallawa.
Adapun batas-batas wilayah Desa Batu Putih yaitu :
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Wanua Waru,
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Mattampapole,
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Samaenre , dan
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Bone.
Secara keseluruhan Desa Batu Putih mencapai luas 2460 ha, luas lahan terlantar seluas 150 ha dan luas lahan pekarangan tidak dimanfaatkan dengan luas 75 ha. Secara administrasi pemerintahan Desa Batu Putih terbagi atas lima dusun yaitu Dusun Batu Pute, Dusun Batu Maddenring, Dusun Bila-bilae, Dusun Panginsoreng dan Dusun Lappa Hilalang.
2. Topografi
Wilayah Desa Batu Putih sebagian besar merupakan daerah pegunungan dan selebihnya merupakan dataran tinggi, dengan ketinggian ±300 m dari permukaan laut. Daerah ini merupakan jalan poros yang berbatasan dengan Kabupaten Bone dengan Kota Makassar.
3. Iklim dan Curah Hujan
Keadaan iklim pada suatu daerah sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan dan produksi tanaman. Faktor iklim yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman adalah curah hujan. Data curah hujan selama 10 tahun terakhir (1999-2008) dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Data Curah Hujan Rata-rata Bulanan Selama 10 Tahun Terakhir di Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan.
Bulan |
Tahun |
1999 |
2000 |
2001 |
2002 |
2003 |
2004 |
2005 |
2006 |
2007 |
2008 |
Rata2 |
Jan |
747 |
37 |
310 |
462 |
276 |
96 |
398 |
839 |
0 |
71 |
323.6 |
Feb |
126 |
109 |
155 |
395 |
203 |
323 |
205 |
384 |
0 |
348 |
224.8 |
Mar |
110 |
182 |
130 |
232 |
124 |
90 |
251 |
235 |
0 |
393 |
174.7 |
Apr |
140 |
141 |
167 |
179 |
176 |
25 |
69 |
287 |
0 |
155 |
133.9 |
Mei |
100 |
25 |
34 |
167 |
184 |
28 |
226 |
51 |
0 |
18 |
83.3 |
Jun |
219 |
63 |
28 |
87 |
154 |
39 |
4 |
41 |
– |
17 |
65.2 |
Jul |
205 |
82 |
42 |
54 |
45 |
16 |
– |
– |
2 |
– |
46.2 |
Agt |
113 |
– |
15 |
34 |
34 |
– |
– |
14 |
– |
– |
21.4 |
Sep |
41 |
– |
– |
13 |
9 |
1 |
1 |
66 |
– |
– |
13.1 |
Okt |
19 |
– |
– |
253 |
32 |
38 |
– |
99 |
– |
– |
44.1 |
Nov |
176 |
41 |
– |
256 |
189 |
190 |
319 |
193 |
89 |
175 |
162.8 |
Des |
773 |
20 |
– |
431 |
292 |
52 |
– |
137 |
780 |
283 |
400.1 |
Total |
2769 |
700 |
881 |
2563 |
1718 |
898 |
1473 |
3579 |
871 |
1460 |
1409.33 |
Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas I Maros, 2009.
Data curah hujan pada Tabel 1 tersebut kemudian ditabulasi berdasarkan bulan basah, bulan kering dan bulan lembab seperti diperlihatkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Jumlah Bulan Basah, Bulan Kering dan Lembab Selama 10 Tahun Terakhir Periode 1999-2008
Tahun |
Jumlah Bulan Basah |
Jumlah Bulan Kering |
Jumlah Bulan Lembab |
2000 |
9 |
2 |
1 |
2001 |
3 |
4 |
2 |
2002 |
4 |
4 |
– |
2003 |
8 |
3 |
1 |
2004 |
8 |
4 |
– |
2005 |
2 |
7 |
2 |
2006 |
5 |
2 |
1 |
2007 |
6 |
3 |
2 |
2008 |
1 |
1 |
6 |
2009 |
5 |
2 |
1 |
Jumlah |
51 |
32 |
16 |
Rata2 |
5,1 |
3,2 |
1,6 |
Sumber : Data Stasiun Klimatologi I Maros, 2009.
Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ditemukan bulan basah sebanyak 51 dengan rata-rata 5,1 dan bulan kering sebanyak 32 dengan rata-rata 3,2 dan bulan lembab sebanyak 16 dengan rata-rata 1,6. Sehingga data tersebut dapat ditentukan nilai Q sebagai berikut :
Q ratio = Rata-rata bulan kering x 100%
Rata-rata bulan basah
= 3,2 x 100%
5,1
= 62,75 %
Selanjutnya Mohr membagi tiga bulan berdasarkan parameter derajat kebasahan dan kekeringan setiap bulannya yaitu :
a. Bulan basah (Bb) jika curah hujan setiap bulannya > 100 mm
b. Bulan lembab (Bl) jika curah hujan setiap bulannya antara 60 mm – 100 mm
c. Bulan kering (Bk) jika curah hujan setiap bulannya < 60 mm
Tabel 3. Klasifikasi Tipe Iklim di Indonesia Menurut Schmidt dan Furguson
Tipe Iklim |
Nilai Q Ratio (%) |
Kondisi Iklim |
A |
0 – 14,3 |
Sangat Basah |
B |
14,3 – 33,3 |
Basah |
C |
33,3 – 60,0 |
Agak Basah |
D |
60,0 – 100 |
Sedang |
E |
100 – 160 |
Agak Kering |
F |
160 – 300 |
Kering |
G |
300 – 700 |
Sangat Kering |
H |
700 ke atas |
Luar Biasa Kering |
Sumber : Benyamin Lakitan, 1997.
Berdasarkan klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Furguson seperti diperlihatkan pada Tabel 3 diketahui bahwa lokasi penelitian termasuk iklim D dengan nilai Q berkisar antara 60% – 100%.
4. Peruntukan Lahan
Jenis penggunaan lahan dikelompokkan atas tanah sawah, tanah kering, tanah perkebunan dan tanah hutan. Peruntukan lahan di Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa dapat dilihat pada table berikut :
Tabel 4. Peruntukan Lahan Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros
No. |
Penggunaan Lahan |
Luas (ha) |
1. |
Sawah irigasi non teknis |
49,00 |
2. |
Sawah tadah hujan |
108,80 |
3. |
Ladang, huma, tegalan, tambak, kolam |
238,60 |
4. |
Perkebunan |
436,00 |
5. |
Hutan Rakyat |
1419,00 |
6. |
Perumahan/pemukiman |
26,40 |
7. |
Industri/kantor/pertokoan |
3,60 |
8. |
Lainnya |
179,20 |
|
Total |
2460,60 |
Sumber : BPS Kabupaten Maros, 2009
B. Keadaan Sosial Ekonomi
1. Penduduk
Data kependudukan Desa Batu Putih, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros yang terdiri atas lima dusun yang mempunyai jumlah penduduk 1659 jiwa dengan jumlah laki-laki 776 jiwa dan perempuan 883 jiwa, yang terdiri dari 367 KK. Untuk lebih jelasnya jumlah penduduk di Desa Batu Putih dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Distribusi jumlah kepala keluarga dan jumlah penduduk berdasarkan dusun di Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros.
No. |
Nama Dusun |
Jumlah Kepala Keluarga (KK) |
Jumlah Penduduk (Jiwa) |
1. |
Bila-bilae |
55 |
249 |
2. |
Batu Pute |
67 |
289 |
3. |
Batu Madenring |
67 |
269 |
4. |
Lappa Hilalang |
80 |
375 |
5. |
Pangisoreng |
98 |
477 |
|
Total |
367 |
1659 |
Sumber : Data Desa Batu Putih, 2009
Pada tabel 5 di atas dapat diketahui bahwa Dusun Pangisoreng memiliki jumlah penduduk terbesar yaitu 477 jiwa dengan jumlah kepala keluarga 98 KK. Sedangkan Dusun Bila-bilae memiliki jumlah penduduk terkecil yaitu 249 jiwa dengan kepala keluarga 55 KK.
2. Mata Pencaharian
Sebagian besar penduduk di Desa Batu Putih bermata pencaharian bertani sawah dan ladang. Deisamping itu beberapa diantaranya bekerja sebagai pegawai, pedagang, pengusaha, tukang, sopir angkutan dan lain-lain. Jumlah penduduk berdasarkan jenis mata pencaharian di Desa Batu Putih dapat dilihat pada Tabel 4 berikut :
Tabel 6. Distribusi penduduk menurut tingkat pekerjaan di Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros.
No. |
Jenis Pekerjaan |
Jumlah Jiwa |
Persen (%) |
1. |
Pegawai Negeri |
36 |
2,1 |
2. |
Pegawai Swasta |
13 |
0,7 |
3. |
Petani |
454 |
25,3 |
4. |
TNI/POLRI |
13 |
0,7 |
5. |
Pedagang |
33 |
1,9 |
6. |
Wiraswasta |
65 |
3,9 |
7. |
Tukang |
26 |
1,5 |
8. |
Sopir Angkutan |
25 |
1,5 |
9. |
Ibu Rumah Tangga |
245 |
14,7 |
10. |
Tidak Bekerja |
161 |
9,7 |
11. |
Lainnya |
578 |
31,7 |
|
Total |
1659 |
100,00 |
Sumber : Data Desa Batu Putih, 2009
3. Pendidikan
Tingkat pendidikan masyarakat di Desa Batu Putih tergolong masih rendah tercatat 538 orang yang tidak pernah sekolah, tidak tamat SD 345 orang, tamat SD 468 orang, tamat SMP 125 orang, tamat SMA 122 orang, dan sarjana 21 orang. Masyarakat di desa ini mempunyai tingkat pendidikan yang rendah, hal ini disebabkan karena kurangnya sarana pendidikan serta jarak yang ditempuh sangat jauh. Untuk lebih jelasnya tingkat pendidikan di Desa Batu Putih dapat dilihat padaTabel 7.
Tabel 7. Distribusi penduduk menurut tingkat pendidikan di Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros.
No. |
Pendidikan |
Jumlah |
1. |
Tidak Pernah Sekolah |
538 |
2. |
Tidak Tamat SD |
345 |
3. |
Tamat SD |
468 |
4. |
SLTP |
135 |
5. |
SLTA |
142 |
6. |
Diploma/S1/S2 |
26 |
|
Total |
1659 |
Sumber : Data Desa Batu Putih, 2009
4. Sarana dan Prasarana
Sarana dan prasarana merupakan salah satu faktor penting dalam upaya pembangunan dan pengembangan suatu daerah. Secara umum, sarana dan prasarana yang terdapat di Desa Batu Putih masih sangat minim. Untuk sarana dan prasarana pendidikan masih sangat kurang memadai, hal ini dapat dilihat dari jumlah unit sekolah yang tersedia yaitu TK 1 unit, SD 3 unit, SLTP dan SLTA tidak tersedia sehingga para siswa yang ingin melanjutkan sekolahnya harus bersekolah di daerah lain. Sarana kesehatan yang ada belum memenuhi jumlah yang diharapkan dibandingkan jumlah penduduknya. Fasilitas perekonomian masyarakat yang ada adalah 2 buah pasar tradisional yang diselenggarakan setiap 5 hari sekali di Bance’e dan Mallawa. Fasilitas peribadatan berupa 3 buah mesjid yang terletak di dusun Batu Pute, Baru Ma’denring dan Pangisoreng. Adapun sarana dan prasarana yang dimiliki dapat dilihat pada Tabel 8 berikut:
Tabel 8. Sarana dan prasana yang terdapat di Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros.
No. |
Jenis Sarana dan Prasarana |
Jumlah |
1. |
Sekolah TK |
1 buah |
2. |
Sekolah Dasar |
3 buah |
3. |
Kantor Desa |
1 buah |
4. |
Masjid |
3 buah |
5. |
Pasar |
2 buah |
6. |
Puskesmas Pembantu |
1 buah |
7. |
Posyandu |
1 buah |
Sumber : Data Desa Batu Putih, 2009
5. Agama dan Adat Istiadat
Sebagian penduduk berasal dari suku Bugis dan hampir seluruhnya beragama islam. Bahasa yang dipergunakan sehari-hari adalah bahasa bugis diselingi bahasa Indinesia.
Latar belakang budaya bugis yang dimiliki penduduk menyebabkan setiap aspek kehidupan mereka dipengaruhi oleh adat istiadat bugis. Hal ini nampak dari gaya hidup penduduk selalu dipegang pada nilai-nilai bugis, seperti dalam penggunaan bahasa, bentuk rumah, cara bertani, pengolahan makanan dan lain-lain. Budaya bugis seperti pesta panen mappadendang maupun pada perkawinan masih terus dipelihara dengan berbagai aturan sendiri.
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Status Kepemilikan Lahan dan Sejarah Hutan Rakyat di Dusun Batu Maddenreng, Desa Batu Putih, Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros
Secara administratif Desa Batu Putih terdiri dari 5 dusun yang didalamnya terdapat hutan produksi biasa, dimana pada Dusun Batumaddenreng dan Dusun Pangisoreng sebagian besar terdiri atas kawasan hutan produksi biasa. Lima dusun di Desa Batu Putih , yaitu :
1. Bila-bilae.
2. Batu Puteh.
3. Batu Maddenreng.
4. Lappa Hilalang.
5. Pangisoreng.
Secara geografis, dusun-dusun di Desa Batu Putih berada dalam ketinggian 300 m dpl. Pada kondisi yang dilingkupi oleh hutan baik yang berupa hutan rakyat maupun yang berupa hutan produksi biasa. Kondisi lahan yang kritis membawa dampak pada pola pemanfaatan lahan yang ada di daerah ini. Terdapat diversifikasi kebutuhan dan kerajinan serta kemampuan yang dikembangkan oleh masyarakat. Pada masing-masing dusun memiliki potensi, masalah serta bentuk solusi tersendiri pada berbagai persoalan yang dihadapinya.
Dusun Batu Maddenreng merupakan kawasan yang hampir semua wilayahnya dikelilingi hutan produksi biasa, sehingga hampir sebagian besar masyarakat juga mengelola kawasan hutan produksi, disamping mengelola lahan miliknya. Hal tersebut terjadi selain masyarakat belum terlalu paham mengenai hutan dan di sebabkan juga pertambahan penduduk yang semakin meningkat sehingga tidak ada pilihan lain bagi mereka untuk membuka lahan hutan sebagai tempat mereka hidup dan mencari nafkah.
Pembangunan hutan rakyat di Desa Batu Putih telah dilakukan oleh masyarakat setempat sekitar tahun 1980-an. Pada saat itu akses dan interaksi masyarakat terhadap hasil hutan pada kawasan hutan negara sangat terbatas. Interaksi masyarakat terhadap hutan sangat besar terutama dalam memenuhi kebutuhan akan kayu perkakas, kayu bakar, makanan ternak, serta hasil hutan lainnya. Pembatasan terhadap interaksi dan akses tersebut menyebabkan masyarakat secara sadar mulai menanami lahan miliknya dengan tanaman kayu guna memenuhi kebutuhan mereka akan produk hasil hutan. Berkaitan dengan pertimbangan ekologis (kebutuhan air), pada masyarakat terdapat pemikiran bahwa dengan adanya tanaman kayu akan memperbaiki kondisi tata air setempat dengan munculnya sumber air yang dapat digunakan sepanjang waktu, khususnya pada musim kemarau. Hal itulah yang memperkuat interaksi masyarakat terhadap hutan, baik pada hutan negara maupun untuk hutan rakyat. Meskipun terdapat beberapa persoalan berkaitan antara kebutuhan ekonomis dan kebutuhan ekologis tentang pengelolaan hutan rakyat , terutama berkaitan dengan terbatasnya tenaga kerja yang mengelola hutan rakyat, namun pada masyarakat terdapat faktor pendukung yang cukup kuat dalam pengelolaannya, yaitu :
1. Motivasi masyarakat setempat untuk terus menanam tanaman kayu di lahan miliknya sangat besar.
2. Kemampuan dan ketrampilan teknis masyarakat dalam mengelola hutan rakyat miliknya sudah memadai.
3. Adanya kesadaran masyarakat yang cukup tinggi, bahwa untuk memperoleh hasil yang optimal, maka masyarakat perlu mengelola hutan rakyat miliknya secara intensif.
B. Sistem Pemanenan Hutan Rakyat di Dusun Batumaddenreng Desa Batu Putih Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros
Berdasarkan pengamatan (observasi) langsung di lapangan di ketahui ada empat sistem pemanenan hutan rakyat yang biasa digunakan oleh masyarakat (pengusaha kayu) di Dusun Batumaddenreng Desa Batu Putih, yaitu :
1. Tebang – bagi batang – sarad pikul – angkut ke rumah
Kegiatan penebangan pada sistem ini menggunakan chainsaw dengan memilih atau menentukan terlebih dahulu beberapa pohon yang akan ditebang, biasanya dalam sehari di patok 11 pohon yang harus di tebang, ini dilakukan oleh regu penebang yang terdiri oleh tiga orang, dimana satu orang sebagai operator chainsaw dan lainnya sebagai helper. Setelah penebangan beberapa pohon, helper membersihkan ranting-ranting atau cabang yang masih melekat pada pohon tersebut kemudian mengukurnya dengan menggunakan meteran sesuai dengan permintaan pasar, ukuran Jati (Tectona grandis) panjangnya 1,2 meter. Sortimen yang di produksi berupa bantalan dengan ukuran panjang 1,2 meter, dan lebar yang bervariasi yaitu 18 cm, 20 cm dan 30 cm sedangkan tebalnya bervariasi sama dengan lebarnya yaitu 18 cm, 20 cm, dan 30 cm, ini dikarenakan setiap pohon berbeda diameternya jadi bantalan yang diproduksi tergantung diameter pohonnya. Pembuatan bantalan ini di lakukan pada lokasi penebangan agar mempermudah dan menekan biaya dalam proses pengangkutan nantinya.
Proses penyaradan pada sistem ini menggunakan tenaga manusia yang terdiri atas empat orang pemikul, tenaga ini dipilih karena selain upahnya murah jarak penyaradan dari lokasi penebangan dengan pinggir jalan desa yang dapat di jangkau mobil (Tpn) juga dekat sekitar 400 – 500 meter. penyaradan dilakukan setelah pohon tersebut sudah diolah menjadi bantalan kemudian di sarad sampai ke pinggir jalan desa yang dapat di jangkau mobil truk (Tpn).
Pengangkutan dilakukan setelah semua bantalan yang sudah di sarad terkumpul di Tpn, ini diperkirakan setelah sebelas hari proses pemanenan kayu . Bantalan- bantalan ini di angkut sampai kerumah pengusaha kayu tersebut (Tpk) sambil menunggu pembeli dari luar daerah yang telah memesan kayu, seperti dari Kabupaten Sinjai, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Bone dan Kota Makassar.
2. Tebang – bagi batang – sarad kuda – angkut ke rumah
Sistem ini hampir sama dengan sistem yang di atas (pertama), yang berbeda pada proses penyaradannya. Tanaman yang di usahakannya pun sama yaitu Jati (Tectona grandis) dengan ukuran bantalan panjang 1, 2 meter, lebar 18 cm, 20 cm, dan 30 cm begitu pula dengan tebal 18 cm, 20 cm, dan 30 cm.
Penyaradan dengan menggunakan tenaga kuda ini dipakai karena jauhnya jarak antara lokasi penebangan dengan jalan desa yang dapat dijangkau mobil truk yaitu sekitar 1 – 2 km. biasanya pengusaha kayu menyewa tiga sampai lima tenaga kuda, satu kuda dapat menyarad kayu dua atau empat lembar bantalan tergantung dari ukuran bantalan kayu tersebut, ukuran lebar 18 cm dan tebal 18 cm dapat disarad empat bantalan dalam satu kuda sedangkan ukuran lebar 30 cm dan tebal 30 cm hanya bisa dua bantalan untuk disarad oleh satu kuda.
3. Tebang – bagi batang – sarad pikul – angkut ke industri
Sistem semacam ini banyak di jalankan oleh pegusaha kayu yang memproduksi kayu kemiri (Aleurites mollucana), kegiatan penebangan dilakukan dengan menggunakan chainsaw dimana mekanismenya adalah menebang pohon terlebih dahulu dalam jumlah banyak atau beberapa pohon yang dapat dikerjakan dalam sehari. Biasanya operator chainsaw menebang pohon dalam seharinya sekitar 12 pohon, kemudian pohon yang telah ditebang dibersihkan dengan menggunakan parang kemudian di bagi atau dipotong berdasarkan ukuran tertentu sesuai dengan kebutuhan pemilik lahan atau pesanan dari pembeli kayu. Setelah dibagi berdasarkan permintaan ukuran pengusaha, kemudian di buat kedalam bentuk bantalan- bantalan dimana ukuran bantalan yang biasa diproduksi oleh pengusaha kayu adalah sekitar empat meter dengan lebar 20 cm dan tebal 10 cm.
Setelah kayu kemiri (Alaeurites molucana) diolah menjadi bantalan maka bantalan siap untuk disarad menuju ke pinggir jalan yang bisa di jangkau oleh mobil pengangkut kayu (Tpn). Proses penyaradan bantalan menggunakan tenaga manusia (pikul), dimana satu bantalan dipikul oleh dua orang dengan jarak yang ditempuh oleh penyarad sekitar ± 400 meter. Tenaga sarad ini dipilih karena topografi lahan didominasi bebatuan dan lebih murah dibandingkan dengan menggunakan tenaga sarad yang lainnya. Kayu yang telah disarad sampai di pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn) selanjutnya diangkut menuju ke industri penggergajian (saw mill) yang berada di Desa Sabila, tepatnya di Dusun Ladangnge dengan menggunakan mobil truk. Jarak antara pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn) dengan industri sekitar ± 8 km. Bantalan-bantalan kemiri ini sengaja di bawa ke industri untuk di olah menjadi papan karena biasanya kayu seperti ini hanya di gunakan sebagai papan mill cor bangunan rumah.
4. Tebang – bagi batang – sarad kuda – angkut ke industri
Proses penebangan pada sistem ini sama dengan sistem sebelumnya yaitu operator chaisaw menebang beberapa pohon yang ingin dikerjakan selama sehari. Setelah pohon tersebut ditebang kemudian di bagi menjadi beberapa ukuran bantalan. Tanaman yang di produksi pada sistem ini adalah Jati (Tectona grandis). Ukuran bantalan yang di hasilkan adalah 1,2 meter dengan lebar 20 cm dan tebal 20 cm.
Setelah kayu di olah menjadi bantalan pada lokasi penebangan maka bantalan tersebut di sarad dengan menggunakan kuda, tenaga penyaradan kuda di pilih karena jarak dari lokasi penebangan dengan jalan yang dapat di jangkau oleh truk atau tempat pengumpulan kayu lumayan jauh yaitu ± 1 km. Satu kuda dapat menyarad dua lembar bantalan dimana dalam seharinya kuda tersebut biasa menyarad empat sampai enam kali. Bantalan-bantalan yang telah terkumpul di pinggir jalan di angkut dengan menggunakan mobil truk langsung ke industri yang berada di Makassar untuk dipasarkan.
Sistem seperti ini jarang digunakan oleh petani hutan rakyat di Desa Batu putih khusunya di Dusun Batumaddenreng karena proses pengangkutan kayu banyak memakan biaya dan tidak sedikit petani hutan rakyat menelan kerugian akibat dari penjualan kayu mereka di nilai kurang ekonomis oleh industri-industri yang berada di Makassar, oleh karena itu petani hutan rakyat kebanyakan melakukan transaksi jual beli di depan rumah mereka sendiri dengan menunggu para pembeli dari luar kota untuk membeli dan mengangkutnya sendiri sampai ke tempat tujuan si pembeli kayu.
C. Prasarana Wilayah yang Terdapat di Desa Batu Putih
Prasarana wilayah adalah sistem prasarana yang tersedia yang mempunyai fungsi utama untuk melayani mobilitas penduduk dan jasa ataupun komoditas hutan dari suatu tempat ke tempat lain serta menjembatani keterkaitan fungsional antara kegiatan sosial ekonomi dengan wilayah sekitarnya. Berdasarkan hasil pengamatan (observasi) dan wawancara responden di lapangan dapat diketahui prasarana wilayah yang dimanfaatkan dalam pola pemanenan hasil hutan kayu, yaitu berupa pemukiman dan jalan, baik berupa jalan tanah (setapak) yang merupakan jalan yang mereka buat sendiri, jalan tani (pengerasan), jalan desa (aspal), maupun jalan provinsi yang mengangkut kayu yang siap dipasarkan. Adapun alat transportasi yang digunakan, yaitu truk dimana dalam satu buah truk tersebut dapat memuat sebanyak kurang lebih 100 buah bantalan dengan ukuran bantalan panjang 4 meter, lebar 20cm dan tebal 10 cm, kemudian kayu-kayu tersebut dibawa ke industri penggergajian (saw mil) yang berada di Desa Sabila Dusun Ladangnge.
Rata-rata petani hutan rakyat di Desa Batu Putih membuat rumah hampir berdekatan dengan lokasi hutan rakyat mereka, ini disengaja karena mereka berpikir dengan dekatnya rumah dan hutan rakyat dapat menekan biaya dalam proses pengelolaan lahan hutan rakyat dan pengangkutan kayu, namun yang terpenting pemukiman yang di buat harus di jangkau dengan akses jalan untuk memudahkan dalam proses pemasaran.
Gambar : Penyaradan dengan menggunakan tenaga manusia.
D. Peranan Prasarana Wilayah Dalam Pemanenan Hutan Rakyat
1. Peranan Prasarana Jalan Dalam Pemanenan Hutan Rakyat
a. Penebangan
Prasarana jalan sangat berperan khususnya jalan sarad dalam proses penebangan kayu. Sebagai salah satu roda transportasi, jalan sarad merupakan pemicu dinamika pembangunan hutan secara lestari. Pada hutan rakyat di Dusun Batu Maddenreng Desa Batu putih, pendekatan yang dilakukan oleh pengusaha sebelum melakukan penebangan adalah dengan cara menginventarisasi pohon yang akan ditebang kemudian membuat jalan sarad (setapak) untuk dapat mengeluarkan hasil hutan kayu menuju ke pinggir jalan desa (Tpn).
b. Bagi batang
Proses bagi batang yang dilakukan pengusaha pada hutan rakyat di Dusun Batumaddenreng Desa Batu putih adalah bermacam-macam, ada yang membagi batang hasil hutan kayu sesuai dengan permintaan pasar tetapi ada ada juga yang membagi batang sesuai dengan jalan yang akan dilalui pada saat penyaradan, jangan sampai kayu yang telah dibagi tidak dapat dikeluarkan karena jalannya sempit, untuk itu prasarana jalan sangat berpengaruh dalam proses bagi batang.
c. Penyaradan
Prasarana jalan mempunyai peranan yang cukup besar dalam proses penyaradan pada hutan rakyat di Dusun Batumaddenreng Desa Batu putih. Para pengusaha kayu memperkerjakan tenaga untuk menyarad kayu yang telah dibagi menjadi bantalan, baik itu berupa tenaga manusia maupun tenaga kuda. Proses penyaradan dari lokasi penebangan ke pinggir jalan desa (Tpn) melewati jalan sarad.
d. Pengangkutan
Proses pengangkutan dilakukan setelah bantalan-bantalan yang berada di pinggir jalan desa (Tpn) sudah siap untuk di angkut. Alat pengangkutan yang digunakan adalah truk dengan prasarana jalan sebagai aksesnya menuju ke halaman pengusaha (Tpk), apabila tidak tersediannya jalan desa maka kegiatan pengangkutan sulit dilakukan. Sebaiknya jika tersedia prasarana jalan di tempat tebangan maka kayu dapat langsung di angkut ke industri pengolahan kayu setelah dilakukan bagi batang terus dilakukan penyaradan.
Prasarana yang paling berperan penting dalam pemanenan hutan rakyat di Desa Batu Putih adalah jalan, baik itu berupa jalan tanah (setapak), jalan desa, dan jalan provinsi.
Jalan memegang peranan yang sangat sentral dalam proses pengangkutan kayu, dimana tanpa adanya jalan, baik itu berupa jalan tanah, jalan desa, dan jalan provinsi maka proses pemanenan dapat terkendala. Kondisi seperti ini banyak kita lihat di Desa Batu Putih khususnya di Dusun Batumaddenreng, dimana banyak hutan rakyat milik masyarakat yang belum mempunyai jalan tanah karena kondisi topografi yang sangat curam dan berbatu, belum lagi jarak antara lokasi penebangan dengan pinggir jalan yang dapat dilalui mobil angkutan kayu melebihi 3 km, akibatnya tidak semua hasil hutan kayu pada Dusun Batumaddenreng bisa di panen. Walaupun ada pengusaha yang memaksa untuk memanen tetapi harga jual kayu lebih rendah dibandingkan dengan biaya pemanenan.
Tabel 1. Hasil Hutan Kayu yang Tidak Dapat Dipanen di Desa Batu Putih Dusun Batu Maddenreng.
No |
Hasil hutan kayu yang tidak bisa dipanen |
Penyebab sehingga tidak dipanen |
1. |
Pohon Jati |
Belum mempunyai jalan tanah karena kondisi topografi yang sangat curam dan berbatu. |
2. |
Pohon Kemiri |
Jarak antara lokasi penebangan dengan pinggir jalan yang dapat dilalui mobil angkutan kayu melebihi 3 km. |
Jalan tanah (setapak) dibuat oleh masyarakat untuk memudahkan mereka dalam menyarad kayu dari lokasi penebangan sampai ke pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn). Kayu yang disarad berukuran empat meter untuk kemiri dan satu setengah meter untuk jati dengan kondisi jalan berupa jalan setapak dengan lebar kurang lebih 1,5 meter sehingga kayu tersebut hanya bisa disarad dengan menggunakan tenaga manusia atau tenaga kuda.
Jalan desa digunakan untuk masuknya mobil truk dalam proses pengangkutan kayu dari lokasi tempat pengumpulan kayu sampai ke depan rumah pengusaha atau ke jalan provinsi. Biasanya alat angkutan yang dipakai berupa mobil truk bila kayu yang di angkut dalam jumlah yang yang banyak. Kondisi jalan ini berupa jalan pengerasan batu gunung dengan drainase yang kurang memadai sehingga jika terjadi hujan jalan menjadi banjir dan berlubang. Lebar jalan desa ini 5 meter dengan kemiringan relatif curam sehingga kebanyakan pengusaha kayu apabila musim penghujan datang ia melalui jalur alternatif yang dapat ditempuh dalam waktu yang cukup jauh, yaitu melewati jalan desa di Dusun Pangisoreng untuk mencegah/mengantisipasi hal-hal yang dapat merugikan dalam proses pengangkutan.
Jalan provinsi digunakan dalam proses pengangkutan kayu dari rumah pengusaha sampai ke tempat industri penggergajian (saw mill) di Desa Sabila untuk memasarkan kayunya, kondisi jalan ini berupa jalan aspal dengan lebar 6 – 12 meter. Namun beberapa pengusaha kayu khususnya kayu Jati (Tectona grandis) tidak menggunakan jalan ini karena mereka hanya menjual kayunya di depan rumah mereka dengan menunggu pembeli dari luar daerah yang telah memesan kayu mereka, misalnya dari Kabupaten Sinjai, Kabupaten Pangkep, Kabupaten Bone dan Kota Makassar.
Tabel 2. Peranan Prasarana Jalan dalam Pemanenan Hutan Rakyat di Desa Batu Putih Dusun Batu Maddenreng.
No |
Prasarana Jalan |
Fungsi dalam Pemanenan |
Peralatan yang digunakan |
1. |
Jalan Setapak (tanah) |
– Sebagai jalur penyaradan |
– Tenaga manusia- Tenaga Kuda |
2. |
Jalan Desa |
– Sebagai Jalur Pengangkutan kayu dari pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn) sampai ke depan rumah penduduk atau sampai ke jalan provinsi. |
-Mobil Truk, apabila dalam jumlah banyak- Mobil Pick up, apabila dalam jumlah sedikit |
3. |
Jalan Provinsi |
– Sebagai jalur pengangkutan dari pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn) sampai ke industri penggergajian Desa Sabila.- Sebagai jalur pembeli dari luar daerah, yaitu dari Sinjai, Pangkep dan Makassar. |
– Mobil Truk. |
2. Peranan prasarana pemukiman dalam pemanenan hutan rakyat
a. Penebangan
Peranan pemukiman dalam proses penebangan yaitu, dengan dekatnya pemukiman penduduk maka pengontrolan pemanenan kayu oleh pengusaha kayu dan perangkat desa dapat dilakukan dengan intensif. Setiap penebangan harus diketahui atau mendapat izin dari perangkat desa atau pengusaha kayu.
b. Penyaradan
Peranan pemukiman dalam proses penyaradan adalah dengan dekatnya rumah warga maka tenaga penyarad bisa beristirahat menunggu kembali bantalan-bantalan yang sudah siap untuk di sarad. Disamping dapat menjadi lokasi Tpn atau Tpk sebelum pengangkutan sehingga keamanan kayu dari pencurian dapat terjaga.
c. Pengangkutan
Peranan pemukiman dalam proses pengangkutan adalah dengan dekatnya pemukiman penduduk maka biaya pengangkutan dari pinggir jalan desa (Tpn) ke halaman rumah pengusaha (Tpk) dapat lebih murah.
Jumlah pemukiman yang terdapat di Desa Batu Putih sekitar kurang lebih 367 dengan jumlah penduduk 1.659 jiwa. Berdasarkan pengamatan langsung di lapangan, masyarakat membangun rumah dengan mempertimbangkan beberapa ketentuan yaitu, dekat dengan kebun (hutan rakyat) dan dapat di jangkau oleh akses jalan.
Peranan pemukiman yang terpusat dipinggir jalan provinsi dalam pemanenan hutan rakyat adalah dapat memperlancar dan memudahkan dalam proses jual beli dimana pengusaha kayu di Desa Batu Putih khususnya di Dusun Batumaddenreng kebanyakan menjual atau melakukan transaksi jual beli di depan rumah mereka sehingga para pembeli tidak susah mencari rumah pengusaha kayu lagi.
Peranan pemukiman yang terpencar di dalam Desa Batu Putih untuk berkebun dalam pemanenan hutan rakyat adalah dengan dekatnya hutan rakyat mereka dengan pemukiman maka biaya pengangkutan akan semakin kecil dan waktu yang dibutuhkan dalam proses pengangkutan dari pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn) sampai ke rumah mereka semakin cepat.
Tabel 3. Peranan Prasarana Pemukiman Dalam Pemanenan Hutan Rakyat Di Desa Batu Putih Dusun Batu Maddenreng.
No. |
Prasarana Pemukiman |
Fungsi dalam Pemanenan |
1. |
Pemukiman terpusat di depan jalan provinsi Desa Batu Putih |
Memperlancar dan memudahkan dalam proses jual beli dimana pengusaha kayu di Desa Batu Putih khususnya di Dusun Batumaddenreng kebanyakan menjual atau melakukan transaksi jual beli di depan rumah mereka sehingga para pembeli tidak susah mencari rumah pengusaha kayu lagi. Digunakan juga sebagai Tpk. |
2. |
Pemukiman terpencar di dalam Desa Batu Putih |
Dengan dekatnya hutan rakyat mereka dengan pemukiman maka biaya pengangkutan akan semakin kecil dan waktu yang dibutuhkan dalam proses pengangkutan dari pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn) sampai ke rumah mereka semakin cepat. |
Gambar : lokasi Tpn yang berada di pinggir jalan.
3. Peranan Industri pengolahan kayu dalam pemanenan hutan rakyat
a. Bagi batang
Peranan industri pengolahan dalam proses bagi batang adalah dapat merancang sistem pemanenan dalam bentuk tree leng sistem dengan mengatur sistem bagi batang dan pengolahan kayu menjadi sortimen. Sistem bagi batang dalam hutan rakyat tempat penebangan sesuai pesanan industri pengolahan.
b. Penyaradan
Kayu bantalan atau sortimen kayu yang telah diolah di tempat tebangan tersebut memudahkan pengusaha pemanen kayu untuk merancang sistem penyaradan dan penggunaan alat pengangkutan yang sesuai, sehingga biaya pealatan dan tenaga kerja pemanenan dapat ditekan serendah mungkin.
Peranan industri penggergajian (saw mill) kayu di Desa Sabila, Dusun Ladangnge dalam pemanenan hutan rakyat adalah dapat memperlancar dan memudahkan dalam proses pemasaran karena kebanyakan masyarakat yang mengusahakan kayu kemiri (Aleurites molucana) langsung memasarkannya di sini untuk diolah lebih lanjut menjadi papan sehingga dapat digunakan sebagai papan mill cor dalam pembangunan rumah. Jarak dari Desa Batu Putih dengan industri penggergajian sekitar 8 km, ini dapat dikatakan jaraknya dekat sehingga dapat menekan biaya pengangkutan.
Peranan industri penggergajian di Makassar dalam pemanenan hutan rakyat adalah untuk pemasaran hasil. Jenis kayu yang dipasarkan di industri ini adalah kayu Jati (Tectona grandis), namun karena jaraknya yang cukup jauh sehingga memakan biaya yang cukup besar maka kebanyakan masyarakat lebih memilih melakukan transaksi di depan rumah mereka dengan menunggu pembeli dari luar daerah, misalnya dari Kabupaten Sinjai, Kabupaten Pangkep, kabupaten Bone dan Kota Makassar.
Gambar : Diskusi mengenai pengembangan prasarana wilayah di Desa Batu Putih, Kec. Mallawa, Kab. Maros.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa :
1. Prasarana wilayah yang digunakan dalam pemanenan hutan rakyat, seperti jalan sarad untuk jalur penyaradan baik yang menggunakan kuda maupun tenaga manusia, jalan desa untuk Pengangkutan kayu dari pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn) sampai ke depan rumah penduduk, dan jalan provinsi untuk pengangkutan dari pinggir jalan desa yang dapat dijangkau mobil (Tpn) sampai ke industri penggergajian Desa Sabila atau ke Makassar.
2. Hasil hutan kayu kemiri dan Jati banyak yang tidak di panen karena prasarana jalan sarad dan jalan desa belum tersedia.
3. Prasarana yang paling urgen dalam hutan rakyat di Dusun Batu Maddenreng, Desa Batu Putih adalah jalan, karena dapat melayani mobilitas penduduk dan jasa ataupun barang/komoditas hutan dari suatu tempat ketempat lain serta dapat menjembatani keterkaitan fungsional antar kegiatan sosial ekonomi desa dengan wilayah sekitarnya.
B. Saran
Pengembangan hutan rakyat yang lokasinya jauh dari akses jalan, baik itu jalan provinsi maupun jalan desa di Kecamatan Mallawa, Desa Batu Putih, Dusun Batu Maddenreng perlu diperhatikan untuk mendukung sistem pemanenan dan transportasi hasil pemanenan hutan rakyat.